14 Februari 2012

Gelang Giok Naga

 
 Judul     : Gelang Giok Naga
Penulis   : Leny Helena
Tebal     :  319  hal.
Penerbit : Qanita, Bandung
My rating  ;  4 of  5 stars


Buku ini sudah lama direkomendasikan oleh teman, ternyata kesempatan baru datang saat ini, tapi tidak terpengaruh dengan lamanya waktu karena buku ini bukan jenis buku yang gampang basi. Kebetulan buku ini saya baca disekitar Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh cocok sekali dengan kisahnya yang menceritakan tentang kehidupan etnis Tionghoa dari jaman kekaisaran di Cina sampai jaman reformasi di Indonesia.

Istimewa nya semua tokoh utama adalah wanita. Wanita-wanita yang menjadi fokus cerita adalah pemilik Gelang Giok Naga , ada pertalian darah diantara mereka walaupun dengan rentang waktu yang sangat jauh dan diperoleh dengan cara yang berbeda-beda. Mereka adalah wanita-wanita yang dapat mempertahankan dan mengisi hidupnya dengan keberanian, keuletan dan perjuangan pada masanya masing-masing.

Bermula dari Yang Kuei Fe seorang selir kesayangan Jia Shi salah seorang kaisar Cina pada masa dinasti Ching sekitar thn. 1723. Ketika sang kaisar terbunuh Yang Kuei Fei yang sedang hamil lari bersama salah seorang Kasim yang bernama Fu. Tidak lupa dia membawa beragam perhiasan termasuk sepasang gelang terbuat dari batu giok murni dengan hiasan naga emas.

Seiring waktu bergulir kira-kira awal abad 20 pengarang menceritakan dua orang wantita bernama A Sui dan A Lin,kehidupan mereka diceritakan secara begrantian dengan lancar dan tidak membuat bingung pembacanya.

A Sui dan A Lin berasal dari keluarga miskin. Pada thn . 1947 A Sui menyusul suaminya ke Batavia, sedangkan A Lin juga pergi ke Batavia karena dijual oleh ibunya , pada saat itu orang tua biasa menjual anaknya karena desakan ekonomi dan mengharapkan perbaikan kehidupan untuk anaknya tersebut.

A Lin ketika datang ke Batavia pada usia 9 thn. Dipekerjakan pada seorang nenek untuk mengurus babi, bahkan makan dan tidur pun di kandang babi. Ketia umur 15 th, dia dijual dan dijadikan nyai oleh seorang Belanda, kehidupannya secara ekonomi dan sosial berubah drastis sampai akhirnya si tuan pulang ke negeri Belanda. Dengan modal dari suaminya yang baru Alin berusaha sendiri dan berhasil meningkatkan perekonomian keluarganya bahkan menjadi rentenir dengan harta yang banyak.
Sedangkan A Sui bersama suaminya berhasil membina rumah tangga dengan baik. Akan tetapi sepeninggal suaminya dia jatuh miskin. A Sui berjuang demi kehidupan anak-anak biarpun miskin dia berusaha menyekolahkan anak-anaknya , untuk menyekolahkna anaknya dia menggadaikan harta warisan dari ibunya berupa sepasang gelang giok naga, dan gelang itu digadaikan kepada nyonya kaya yang tidak lain adalah A Lin.

Hubungan A Sui dan A LIn kurang baik , A Sui menganggap A Lin sebagai orang kaya yang sombong dan A Lin menganggap A Sui sebagai orang miskin yang sombong tidak mau menunjukkan rasa hormat kepadanya. Anehnya anak-anak mereka berteman baik , Anak sulung A Sui dan anak sulung A Lin akrab sejak kecil bahkan mereka membuat usaha bersama di daerah Glodok , usaha mereka maju dan berhasil mempunyai toko dan mobil. Yang paling tak terduga Sui Giok anak bungsu A Sui hamil oleh Bun Kun anak bungsu A Lin. Walaupun kedua orang tua tidak setuju tapi Bun Kun memaksa ibunya untuk melamar Sui Giok akhirnya mereka dinikahkan.

Pada tahun 1976 Sui Giok melahirkan, mereka tidak mau memberi anaknya dengan nama Cina karena takut jika anaknya besar nanti susah masuk sekolah dan mencari pekerjaan , anak itu diberi nama Swanlin gabungan dari A sui dan A Lin nama kedua neneknya.
Swanlin tumbuh menjadi gadis pemberani dan tidak sombong meskipun dia dari keluarga berada tidak segan dia menjadikan anak-anak kampung yang menjadi tetangganya sebagai teman sepermainan. Ketika menjadi mahasiswa sekitar thn. 1998 terjadi pergolakan di Indonesia banyak dari etnis Cina yang menjadi korban, Swanlin tidak gentar, dia menjadi salah satu aktifis mahasiswa yang membantu korban-korban kerusuhan .

Walaupun dengan jalan yang berliku akhirnya Swanlin disetujui menikah dengan seorang teman sesama aktifis, mahasiswa keturunan Batak bernama Ruli.
Pada hari pernikahan itulah kedua nenek yang kerap berseteru duduk berdampingan . Pada saat itu pulalah A Lin mengeluarkan sepasang gelang Giok Naga yang ternyata selama ini masih disimpannya, dengan persetujuan A Sui dia memberikan gelang itu kepada Swanlin.

Swanlin bersama Ruli suaminya sempat pergi ke negri Cina ke negri leluhur Swanlin, cerita selanjutnya bergulir dan berakhir.. diluar dugaan…...., di akhir cerita Gelang Giok Naga itu dapat dilihat di sebuah museum.

Gelang Giok naga yang melambangkan kekuatan dan kelembutan menjadi benang merah dalam kisah ini, tentang kekuatan dibalik kelembutan , tentang keberhasilan dibalik kerapuhan wanita
Pengarang berhasil menceritakan kisah tentang perkembangan adat budaya etnik Cina; dimulai dari cerita tentang batu giok, legenda naga, cinta dan intrik di jaman kekaisaran Cina , kehidupan mereka di Batavia pada masa penjajahan Belanda sampai kehidupan yang dialami pada masa reformasi di Indonesia dengan segala macam problem yang harus dihadapi, tapi pengarang sebagai seorang etnis Tionghoa pun tidak lupa melakukan otokritik terhadap kebiasaan mereka yang sukar untuk berbaur.

Seseorang pernah berkata, menjadi Cina di Indonesia sungguh susah, kau harus menunjukkan kalau kau lebih nasionalis dari pribumi asli.( Hal. 280)


Menarik untuk dibaca !

2 komentar:

  1. duh saya masih mendengar salah seorang jemaat di gereja bilang kalau dia sebelum menikah masih belum WNI.
    Untuk hal ini, saya salut dengan Gusdur yang memungkinkan dimasukkannya Imlek dalam libur nasional.

    BalasHapus
  2. masih dipersulit ?
    Sy pernah lihat disalah satu perayaan imlek di tv, foto Gus Dur dipajang, bagi mereka berjasa banget ya

    BalasHapus