03 Maret 2013

Gadis Pantai

Gadis Pantai
Judul   : Gadis Pantai
Penulis : Pramudya Ananta Toer
Tebal  :  272 hal.
Penerbit : Lentera Dipantara  
My rating: 4 of 5 stars


Buku 'Gadis Pantai' ini termasuk  buku Pram yang tipis  dibanding bukunya  yang  lain yang pernah saya baca ,  biarpun tipis ceritanya tetap menarik dan penuh dengan kata-kata yang 'berisi’ dan  menggali rasa kemanusiaan pembacanya.
Gadis Pantai  sebetulnya merupakan cerita roman yang belum selsai karena konon ini sejatinya sebuah trilogi, tapi cerita selanjutnya lenyap ketika prahara politik terjadi di Indonesia. Walaupun begitu membaca Gadis Pantai tidak membuat pembacanya kehilangan  inti  ceritanya  yang menarik.

Pramoedya  A.T.
    “Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini…
    Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi…
    Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung yang
    Berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”
                Pramoedya Ananta Toer


Gadis Pantai   berusia  14 tahun ,  hidup di kampung nelayan  Kabupaten Rembang, Jawa tengah.  Tanpa persetujuan dirinya , dia  ‘dambil’ menjadi gundik seorang   pembesar santri keturunan priyayi.   Ternyata pada masa itu apabila seorang pembesar/priyayi belum menikah dengan wanita yang sederajat martabatnya  boleh  ‘mengambil’ gundik yang berasal dari wanita kebanyakan. Bagi orang kebanyakan, bila  pembesar berkenan mengambil anaknya sebagai gundik akan memberikan prestise  di kampungnya karena telah dinaikkan derajatnya.  Tugas sang gundik adalah melayani   kebutuhan seks   Bendoro (panggilan untuk priyayi tsb) .  Sampai kapan wanita tsb bisa menjadi  ‘istri’ sang Bendoro ?  sampai Bendoro memutuskan menikah dengan wanita sederajat atau..terserah  semaunya  ‘beliau’   mau  tetap atau mau ganti gundik...dan selama belum menikah dengan yang sederajat maka Bendoro ini  disebut belum menikah walaupun sudah mempunyai  banyak anak dari para  gundiknya.
Biarpun di lingkungan pembesar itu hidup serba berkecukupan tapi bagi Gadis Pantai hdupnya menjadi seperti di neraka, berbeda dari di kampung asalnya yang serba bebas  tak ada perbedaan  sesama warganya sedangkan  di sini  gedung besar tapi sunyi tak boleh berbicara sembarangan  dan bertindak sembrono semua  kewenangan ad adi tangan Bendoro  seolah yang lain tak mempunyai  hak sama sekali.
Ia kehilangan sesuatu yang besar, keriaan, yang ditimbulkan oleh kerja sama sesama  orang,. Di sini tidak ada kerjasama. Di sini hanya ada pengabdian dan perintah (hal. 82)

Di rumah Bendoro  Gadis Pantai dipanggil dengan sebutan Mas Nganten  dan ‘dibimbing’ oleh seorang pelayan tua, banyak pelajaran yang diserap Gadis Pantai dari  si mbok pelayan  selain cara melayani  Bendoro  dan  cara kehidupan di sana juga tentang realita kehidupan  pada masa itu, tentang  perbedaan nasib rakyat kecil dan priyayi, tentang takdir, dll. Dan si Gadis  pun berusaha mengembangkan dirinya menjadi lebih kuat

Ketika gadis Pantai melahirkan jangankan Bendoro menunggui  , kabarnya tiada,  keberadaan pun tidak diketahui , dan ketika datang dia hanya membuka pintu kamar , apa yang dikatakannya :
“Jadi Cuma perempuan?”
“Seribu ampun, Bendoro.”  
Bendoro membalikkan badan, keluar dari kamar  sambil menutup pintu kembali.
(wakks..)

Kenapa jenis kelamin bayi yang dilahirkan bila tidak dikehendaki  yang disalahkan selalu ibunya, padahal ini adalah hasil ‘kerjasama’ berdua, malah  katanya laki-laki lah yang lebih banyak menentukan  chromosom bayi.
Tiga bulan kemudian bendoro memanggil  bapak si Gadis Pantai , tanpa ada perbincangan terlebih dulu , Bendoro mengatakan pada Bapak bahwa dia telah menceraikan si Gadis Pantai, dan yang lebih parah anaknya tidak boleh dibawa  akan diurus di gedung itu (entah oleh siapa) dan Gadis Pantai tidak boleh menginjakkan kaki lagi di sana.
Runtuh dunia Gadis Pantai dia mencoba melawan tapi Bendoro malah mengusir dengan kejam.
Bagaimana kelanjutan cerita Gadis Pantai , sayang buku kelanjutannya hilang lenyap, maka mari kita mereka-reka sendiri kelanjutannya..


*Seting cerita ini adalah pada jaman  feodal,  para priyayi  yang berpendidikan , taat beribadah bahkan sang Bendoro ini sudah haji pula., Kedudukan priyayi jauh lebih tinggi dari orang kebanyakan, hidup mati para pelayan tergantung apa kata Bendoro
Cerita ini menyindir kelakuan  kaum feodal , masih adakah hari ini entah kaum priyayi betulan atau yang jadi-jadian yang berbuat sewenang-wenang kepada sseama.. ?
*Keseharian Bendoro  rajin shalat,bahkan  tidak lepas dari tasbih dan bacaannya buku hadits tapi bagaimana perilakunya terutama kepada para pelayan dan gundiknya ..?   tak beda seperti memperlakukan budak ,  mengusir pelayan seperti binatang dan  memperlakukan gundik seperti barang belian .

Coba tengok di sekitar kita masih adakah  saat ini yang  berperilaku  seperti itu ?
Mungkin inilah contoh beragama yang egois  rajin  beribadah  tapi lupa untuk berakhlak baik pada sesama,  melakukan ‘ habluminallah (entah dihayati  atau hanya penampakan) tapi  melupakan ’ Hablu minannas.’
Padahal  Allah swt menghendaki semua berjalan seimbang...wallahuaalam..




2 komentar: