Judul : Perempuan di Titik Nol
Judul asli : Woman at Point Zero
Penulis : Nawal El Saadawi Nawal el Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tebal : 156 hal.
My rating : 3 of 5 stars
Judul asli : Woman at Point Zero
Penulis : Nawal El Saadawi Nawal el Saadawi
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tebal : 156 hal.
My rating : 3 of 5 stars
Novel ini adalah hasil wawancara Nawal el Saadawi dengan seorang wanita penghuni penjara di Qanatir Kairo. Cerita dengan seting Mesir tahun 1960-1970 an ini merupaka gugatan terhadap
budaya patriarkat yang disadari atau tidak kerap melecehkan kaum perempuan.
Firdaus seorang perempuan yang terlahir
dari keluarga miskin, ayahnya hanya seorang petani buta huruf, sering memukul istri dan merendahkannya.
Setelah ayah dan ibunya meninggal dia diurus dan dibawa pindah ke Kairo oleh pamannya,
tapi kemudian sang paman tega
‘melecehkan’ Firdaus. Setelah pamannya menikah Firdaus dikirim ke asrama
sekolah, di sana dia merasa terasing sampai dia menemukan tempat untuk melepaskan
segala duka yaitu perpustakaan. Di perpustakaan sekolah Firdaus banyak membaca,
dari sinilah dia mulai mencintai buku,
dengan membaca dia banyak tahu tentang kekuasaan kaum laki-laki. Setelah
selesai sekolah ketika berumur 19 tahun,
karena dianggap beban oleh
pamannya dia dinikahkan dengan Syekh
Mahmoud yang jauh lebih tua darinya.
Suaminya mempunyai kebiasaan memukul Firdaus, pernah suatu ketika setelah dipukuli dengan muka dan badan memar dia pergi ke rumah pamannya untuk meminta perlindungan, tapi pamannya malah berkata bahwa semua suami memukul istrinya dan seorang istri yang bijak tidak layak mengeluh tentang suaminya. Kewajibannya adalah kepatuhan yang sempurna. Kemudian sang paman meyuruh Firdaus kembali pada suaminya. Akhirnya Firdaus tidak tahan dengan perlakuan suami lalu dia kabur meninggalkan rumah.
Orang-orang yang ditemuinya kemudian banyak menambah kesengsaraan hidupnya sampai akhirnya
dia menjadi pelacur. Perjalanan selanjutnya penuh dengan perjuangan yang tidak
mudah karena selalu terbentur dengan lelaki dan kekuasaan sehingga menjadikan
dia sebagai orang yang berpandangan sinis terhadap kaum lelaki.
Firdaus wanita yang berkarakter kuat dan
teguh, walaupun beberapa kali tepuruk dia selalu berusaha untuk bangkit
kembali, sampai akhirnya karena membela diri dia membunuh Marzouk seorang germo
yang memerasnya.
Ditempa oleh pengalaman menyakitkan yang menempatkan nya pada titik yang paling rendah, Firdaus berubah menjadi orang yang dapat menguasai dirinya sendiri
bebas tanpa rasa takut untuk melawan dan membeberkan dosa orang-orang yang
selama ini dianggap suci dan pahlawan oleh lingkungannya. Dia memilih tetap
dihukum mati daripada meminta ampun kepada penguasa yang kotor.
Sungguh memilukan hidup dimana berlaku kultur patriarkat disertai kemunafikan yang dibungkus religius yang merendahkan dan menyengsarakan kaum perempuan dan biasanya tidak ada yang berani protes karena telah dianggap sebagai suatu kebiasaan.
Masih adakah hal yang demikian sekarang ini (
entah nyata atau terselubung) ?.
Mudah-mudahan cerita ini dapat menguatkan
perempuan-perempuan yang mengalami hal yang seperti ini untuk memberikan
perlawan dan menghargai dirinya sendiri , Semoga !
Buku ini bagus, karena penindasan terhadap perempuan masih banyak terjadi sampai kini di negara2 Islam di Timteng, Afrika dan Asia Selatan, dan upaya mengubahnya sangat sulit,harus dibayar dengan ancaman pembunuhan, seperti dialami Saadawi,Taslima Nasreen, dan terakhir Ayaan H. Ali. Bahkan negara2 Barat saja tidak dapat menekan negara2 tsb untuk memperbaiki kondisi perempuannya.
BalasHapusBeruntunglah kita di Indonesia...
ya , mdh2an Indonesia tidak akan pernah seperti itu. Eh.. kl boleh tau buku2nya Ayaan H. Ali apa ya ? bagus ga, soalnya belum pernah baca.
BalasHapusThanx sdh mampir :))