Judul : Gadis Pantai
Penulis : Pramudya Ananta Toer
Tebal : 272 hal.
Penerbit : Lentera Dipantara
My rating: 4 of 5 stars
Buku 'Gadis Pantai' ini termasuk buku Pram yang tipis dibanding bukunya yang lain yang pernah saya baca , biarpun tipis ceritanya tetap menarik dan penuh dengan kata-kata yang 'berisi’ dan menggali rasa kemanusiaan pembacanya.
Gadis Pantai sebetulnya merupakan cerita roman yang belum selsai karena konon ini sejatinya sebuah trilogi, tapi cerita selanjutnya lenyap ketika prahara politik terjadi di Indonesia. Walaupun begitu membaca Gadis Pantai tidak membuat pembacanya kehilangan inti ceritanya yang menarik.
“Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini…
Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi…
Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung yang
Berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”
Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai berusia 14 tahun , hidup di kampung nelayan Kabupaten Rembang, Jawa tengah. Tanpa persetujuan dirinya , dia ‘dambil’ menjadi gundik seorang pembesar santri keturunan priyayi. Ternyata pada masa itu apabila seorang pembesar/priyayi belum menikah dengan wanita yang sederajat martabatnya boleh ‘mengambil’ gundik yang berasal dari wanita kebanyakan. Bagi orang kebanyakan, bila pembesar berkenan mengambil anaknya sebagai gundik akan memberikan prestise di kampungnya karena telah dinaikkan derajatnya. Tugas sang gundik adalah melayani kebutuhan seks Bendoro (panggilan untuk priyayi tsb) . Sampai kapan wanita tsb bisa menjadi ‘istri’ sang Bendoro ? sampai Bendoro memutuskan menikah dengan wanita sederajat atau..terserah semaunya ‘beliau’ mau tetap atau mau ganti gundik...dan selama belum menikah dengan yang sederajat maka Bendoro ini disebut belum menikah walaupun sudah mempunyai banyak anak dari para gundiknya.
Biarpun di lingkungan pembesar itu hidup serba berkecukupan tapi bagi Gadis Pantai hdupnya menjadi seperti di neraka, berbeda dari di kampung asalnya yang serba bebas tak ada perbedaan sesama warganya sedangkan di sini gedung besar tapi sunyi tak boleh berbicara sembarangan dan bertindak sembrono semua kewenangan ad adi tangan Bendoro seolah yang lain tak mempunyai hak sama sekali.
Ia kehilangan sesuatu yang besar, keriaan, yang ditimbulkan oleh kerja sama sesama orang,. Di sini tidak ada kerjasama. Di sini hanya ada pengabdian dan perintah (hal. 82)
Di rumah Bendoro Gadis Pantai dipanggil dengan sebutan Mas Nganten dan ‘dibimbing’ oleh seorang pelayan tua, banyak pelajaran yang diserap Gadis Pantai dari si mbok pelayan selain cara melayani Bendoro dan cara kehidupan di sana juga tentang realita kehidupan pada masa itu, tentang perbedaan nasib rakyat kecil dan priyayi, tentang takdir, dll. Dan si Gadis pun berusaha mengembangkan dirinya menjadi lebih kuat
Ketika gadis Pantai melahirkan jangankan Bendoro menunggui , kabarnya tiada, keberadaan pun tidak diketahui , dan ketika datang dia hanya membuka pintu kamar , apa yang dikatakannya :
“Jadi Cuma perempuan?”
“Seribu ampun, Bendoro.”
Bendoro membalikkan badan, keluar dari kamar sambil menutup pintu kembali.
(wakks..)
Kenapa jenis kelamin bayi yang dilahirkan bila tidak dikehendaki yang disalahkan selalu ibunya, padahal ini adalah hasil ‘kerjasama’ berdua, malah katanya laki-laki lah yang lebih banyak menentukan chromosom bayi.
Tiga bulan kemudian bendoro memanggil bapak si Gadis Pantai , tanpa ada perbincangan terlebih dulu , Bendoro mengatakan pada Bapak bahwa dia telah menceraikan si Gadis Pantai, dan yang lebih parah anaknya tidak boleh dibawa akan diurus di gedung itu (entah oleh siapa) dan Gadis Pantai tidak boleh menginjakkan kaki lagi di sana.
Runtuh dunia Gadis Pantai dia mencoba melawan tapi Bendoro malah mengusir dengan kejam.
Bagaimana kelanjutan cerita Gadis Pantai , sayang buku kelanjutannya hilang lenyap, maka mari kita mereka-reka sendiri kelanjutannya..
*Seting cerita ini adalah pada jaman feodal, para priyayi yang berpendidikan , taat beribadah bahkan sang Bendoro ini sudah haji pula., Kedudukan priyayi jauh lebih tinggi dari orang kebanyakan, hidup mati para pelayan tergantung apa kata Bendoro
Cerita ini menyindir kelakuan kaum feodal , masih adakah hari ini entah kaum priyayi betulan atau yang jadi-jadian yang berbuat sewenang-wenang kepada sseama.. ?
*Keseharian Bendoro rajin shalat,bahkan tidak lepas dari tasbih dan bacaannya buku hadits tapi bagaimana perilakunya terutama kepada para pelayan dan gundiknya ..? tak beda seperti memperlakukan budak , mengusir pelayan seperti binatang dan memperlakukan gundik seperti barang belian .
Coba tengok di sekitar kita masih adakah saat ini yang berperilaku seperti itu ?
Mungkin inilah contoh beragama yang egois rajin beribadah tapi lupa untuk berakhlak baik pada sesama, melakukan ‘ habluminallah (entah dihayati atau hanya penampakan) tapi melupakan ’ Hablu minannas.’
Padahal Allah swt menghendaki semua berjalan seimbang...wallahuaalam..
Penulis : Pramudya Ananta Toer
Tebal : 272 hal.
Penerbit : Lentera Dipantara
My rating: 4 of 5 stars
Buku 'Gadis Pantai' ini termasuk buku Pram yang tipis dibanding bukunya yang lain yang pernah saya baca , biarpun tipis ceritanya tetap menarik dan penuh dengan kata-kata yang 'berisi’ dan menggali rasa kemanusiaan pembacanya.
Gadis Pantai sebetulnya merupakan cerita roman yang belum selsai karena konon ini sejatinya sebuah trilogi, tapi cerita selanjutnya lenyap ketika prahara politik terjadi di Indonesia. Walaupun begitu membaca Gadis Pantai tidak membuat pembacanya kehilangan inti ceritanya yang menarik.
Pramoedya A.T. |
Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi…
Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedung yang
Berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.”
Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai berusia 14 tahun , hidup di kampung nelayan Kabupaten Rembang, Jawa tengah. Tanpa persetujuan dirinya , dia ‘dambil’ menjadi gundik seorang pembesar santri keturunan priyayi. Ternyata pada masa itu apabila seorang pembesar/priyayi belum menikah dengan wanita yang sederajat martabatnya boleh ‘mengambil’ gundik yang berasal dari wanita kebanyakan. Bagi orang kebanyakan, bila pembesar berkenan mengambil anaknya sebagai gundik akan memberikan prestise di kampungnya karena telah dinaikkan derajatnya. Tugas sang gundik adalah melayani kebutuhan seks Bendoro (panggilan untuk priyayi tsb) . Sampai kapan wanita tsb bisa menjadi ‘istri’ sang Bendoro ? sampai Bendoro memutuskan menikah dengan wanita sederajat atau..terserah semaunya ‘beliau’ mau tetap atau mau ganti gundik...dan selama belum menikah dengan yang sederajat maka Bendoro ini disebut belum menikah walaupun sudah mempunyai banyak anak dari para gundiknya.
Biarpun di lingkungan pembesar itu hidup serba berkecukupan tapi bagi Gadis Pantai hdupnya menjadi seperti di neraka, berbeda dari di kampung asalnya yang serba bebas tak ada perbedaan sesama warganya sedangkan di sini gedung besar tapi sunyi tak boleh berbicara sembarangan dan bertindak sembrono semua kewenangan ad adi tangan Bendoro seolah yang lain tak mempunyai hak sama sekali.
Ia kehilangan sesuatu yang besar, keriaan, yang ditimbulkan oleh kerja sama sesama orang,. Di sini tidak ada kerjasama. Di sini hanya ada pengabdian dan perintah (hal. 82)
Di rumah Bendoro Gadis Pantai dipanggil dengan sebutan Mas Nganten dan ‘dibimbing’ oleh seorang pelayan tua, banyak pelajaran yang diserap Gadis Pantai dari si mbok pelayan selain cara melayani Bendoro dan cara kehidupan di sana juga tentang realita kehidupan pada masa itu, tentang perbedaan nasib rakyat kecil dan priyayi, tentang takdir, dll. Dan si Gadis pun berusaha mengembangkan dirinya menjadi lebih kuat
Ketika gadis Pantai melahirkan jangankan Bendoro menunggui , kabarnya tiada, keberadaan pun tidak diketahui , dan ketika datang dia hanya membuka pintu kamar , apa yang dikatakannya :
“Jadi Cuma perempuan?”
“Seribu ampun, Bendoro.”
Bendoro membalikkan badan, keluar dari kamar sambil menutup pintu kembali.
(wakks..)
Kenapa jenis kelamin bayi yang dilahirkan bila tidak dikehendaki yang disalahkan selalu ibunya, padahal ini adalah hasil ‘kerjasama’ berdua, malah katanya laki-laki lah yang lebih banyak menentukan chromosom bayi.
Tiga bulan kemudian bendoro memanggil bapak si Gadis Pantai , tanpa ada perbincangan terlebih dulu , Bendoro mengatakan pada Bapak bahwa dia telah menceraikan si Gadis Pantai, dan yang lebih parah anaknya tidak boleh dibawa akan diurus di gedung itu (entah oleh siapa) dan Gadis Pantai tidak boleh menginjakkan kaki lagi di sana.
Runtuh dunia Gadis Pantai dia mencoba melawan tapi Bendoro malah mengusir dengan kejam.
Bagaimana kelanjutan cerita Gadis Pantai , sayang buku kelanjutannya hilang lenyap, maka mari kita mereka-reka sendiri kelanjutannya..
*Seting cerita ini adalah pada jaman feodal, para priyayi yang berpendidikan , taat beribadah bahkan sang Bendoro ini sudah haji pula., Kedudukan priyayi jauh lebih tinggi dari orang kebanyakan, hidup mati para pelayan tergantung apa kata Bendoro
Cerita ini menyindir kelakuan kaum feodal , masih adakah hari ini entah kaum priyayi betulan atau yang jadi-jadian yang berbuat sewenang-wenang kepada sseama.. ?
*Keseharian Bendoro rajin shalat,bahkan tidak lepas dari tasbih dan bacaannya buku hadits tapi bagaimana perilakunya terutama kepada para pelayan dan gundiknya ..? tak beda seperti memperlakukan budak , mengusir pelayan seperti binatang dan memperlakukan gundik seperti barang belian .
Coba tengok di sekitar kita masih adakah saat ini yang berperilaku seperti itu ?
Mungkin inilah contoh beragama yang egois rajin beribadah tapi lupa untuk berakhlak baik pada sesama, melakukan ‘ habluminallah (entah dihayati atau hanya penampakan) tapi melupakan ’ Hablu minannas.’
Padahal Allah swt menghendaki semua berjalan seimbang...wallahuaalam..
Wahh jadi pengen baca...
BalasHapuscoba baca, bagus kok :)
Hapus