Judul : Gelang Giok Naga
Penulis : Leny Helena
Tebal : 319 hal.
Penerbit : Qanita, Bandung
My rating ; 4 of 5 stars
Buku ini sudah lama direkomendasikan oleh teman, ternyata
kesempatan baru datang saat ini, tapi tidak terpengaruh dengan lamanya
waktu karena buku ini bukan jenis buku yang gampang basi.
Kebetulan buku ini saya baca disekitar Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh
cocok sekali dengan kisahnya yang menceritakan tentang kehidupan etnis
Tionghoa dari jaman kekaisaran di Cina sampai jaman reformasi di
Indonesia.
Istimewa nya semua tokoh utama adalah
wanita. Wanita-wanita yang menjadi fokus cerita adalah pemilik Gelang
Giok Naga , ada pertalian darah diantara mereka walaupun dengan
rentang waktu yang sangat jauh dan diperoleh dengan cara yang
berbeda-beda. Mereka adalah wanita-wanita yang dapat mempertahankan dan
mengisi hidupnya dengan keberanian, keuletan dan perjuangan pada
masanya masing-masing.
Bermula dari Yang Kuei Fe seorang
selir kesayangan Jia Shi salah seorang kaisar Cina pada masa dinasti
Ching sekitar thn. 1723. Ketika sang kaisar terbunuh Yang Kuei Fei
yang sedang hamil lari bersama salah seorang Kasim yang bernama Fu.
Tidak lupa dia membawa beragam perhiasan termasuk sepasang gelang
terbuat dari batu giok murni dengan hiasan naga emas.
Seiring
waktu bergulir kira-kira awal abad 20 pengarang menceritakan dua orang
wantita bernama A Sui dan A Lin,kehidupan mereka diceritakan secara
begrantian dengan lancar dan tidak membuat bingung pembacanya.
A Sui dan A Lin berasal dari keluarga miskin. Pada thn . 1947 A Sui
menyusul suaminya ke Batavia, sedangkan A Lin juga pergi ke Batavia
karena dijual oleh ibunya , pada saat itu orang tua biasa menjual
anaknya karena desakan ekonomi dan mengharapkan perbaikan kehidupan
untuk anaknya tersebut.
A Lin ketika datang ke Batavia pada
usia 9 thn. Dipekerjakan pada seorang nenek untuk mengurus babi, bahkan
makan dan tidur pun di kandang babi. Ketia umur 15 th, dia dijual dan
dijadikan nyai oleh seorang Belanda, kehidupannya secara ekonomi dan
sosial berubah drastis sampai akhirnya si tuan pulang ke negeri
Belanda. Dengan modal dari suaminya yang baru Alin berusaha sendiri dan
berhasil meningkatkan perekonomian keluarganya bahkan menjadi
rentenir dengan harta yang banyak.
Sedangkan A Sui bersama suaminya
berhasil membina rumah tangga dengan baik. Akan tetapi sepeninggal
suaminya dia jatuh miskin. A Sui berjuang demi kehidupan anak-anak
biarpun miskin dia berusaha menyekolahkan anak-anaknya , untuk
menyekolahkna anaknya dia menggadaikan harta warisan dari ibunya berupa
sepasang gelang giok naga, dan gelang itu digadaikan kepada nyonya kaya
yang tidak lain adalah A Lin.
Hubungan A Sui dan A LIn kurang
baik , A Sui menganggap A Lin sebagai orang kaya yang sombong dan A Lin
menganggap A Sui sebagai orang miskin yang sombong tidak mau
menunjukkan rasa hormat kepadanya. Anehnya anak-anak mereka berteman
baik , Anak sulung A Sui dan anak sulung A Lin akrab sejak kecil bahkan
mereka membuat usaha bersama di daerah Glodok , usaha mereka maju dan
berhasil mempunyai toko dan mobil. Yang paling tak terduga Sui Giok
anak bungsu A Sui hamil oleh Bun Kun anak bungsu A Lin. Walaupun kedua
orang tua tidak setuju tapi Bun Kun memaksa ibunya untuk melamar Sui
Giok akhirnya mereka dinikahkan.
Pada tahun 1976 Sui Giok
melahirkan, mereka tidak mau memberi anaknya dengan nama Cina karena
takut jika anaknya besar nanti susah masuk sekolah dan mencari
pekerjaan , anak itu diberi nama Swanlin gabungan dari A sui dan A Lin
nama kedua neneknya.
Swanlin tumbuh menjadi gadis pemberani dan
tidak sombong meskipun dia dari keluarga berada tidak segan dia
menjadikan anak-anak kampung yang menjadi tetangganya sebagai teman
sepermainan. Ketika menjadi mahasiswa sekitar thn. 1998 terjadi
pergolakan di Indonesia banyak dari etnis Cina yang menjadi korban,
Swanlin tidak gentar, dia menjadi salah satu aktifis mahasiswa yang
membantu korban-korban kerusuhan .
Walaupun dengan jalan yang
berliku akhirnya Swanlin disetujui menikah dengan seorang teman sesama
aktifis, mahasiswa keturunan Batak bernama Ruli.
Pada hari pernikahan
itulah kedua nenek yang kerap berseteru duduk berdampingan . Pada saat
itu pulalah A Lin mengeluarkan sepasang gelang Giok Naga yang ternyata
selama ini masih disimpannya, dengan persetujuan A Sui dia memberikan
gelang itu kepada Swanlin.
Swanlin bersama Ruli suaminya sempat
pergi ke negri Cina ke negri leluhur Swanlin, cerita selanjutnya
bergulir dan berakhir.. diluar dugaan…...., di akhir cerita Gelang Giok Naga
itu dapat dilihat di sebuah museum.
Gelang Giok naga yang
melambangkan kekuatan dan kelembutan menjadi benang merah dalam kisah
ini, tentang kekuatan dibalik kelembutan , tentang keberhasilan dibalik
kerapuhan wanita
Pengarang berhasil menceritakan kisah tentang
perkembangan adat budaya etnik Cina; dimulai dari cerita tentang batu
giok, legenda naga, cinta dan intrik di jaman kekaisaran Cina ,
kehidupan mereka di Batavia pada masa penjajahan Belanda sampai
kehidupan yang dialami pada masa reformasi di Indonesia dengan segala
macam problem yang harus dihadapi, tapi pengarang sebagai seorang etnis
Tionghoa pun tidak lupa melakukan otokritik terhadap kebiasaan mereka
yang sukar untuk berbaur.
Seseorang pernah berkata, menjadi Cina
di Indonesia sungguh susah, kau harus menunjukkan kalau kau lebih
nasionalis dari pribumi asli.( Hal. 280)
Menarik untuk dibaca !
duh saya masih mendengar salah seorang jemaat di gereja bilang kalau dia sebelum menikah masih belum WNI.
BalasHapusUntuk hal ini, saya salut dengan Gusdur yang memungkinkan dimasukkannya Imlek dalam libur nasional.
masih dipersulit ?
BalasHapusSy pernah lihat disalah satu perayaan imlek di tv, foto Gus Dur dipajang, bagi mereka berjasa banget ya